GUSTI KANJENG RATU BENDORO

inspired - GKR Bendoro

KESEDERHANAAN SANG PUTRI KERATON

Darah bangsawan yang mengalir dalam diri Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendoro, putri bungsu Raja Kasultanan Yogyakarta, Sri Sultan HB X tetap membuatnya menjadi pribadi yang sederhana, menyenangkan dan rendah hati. Wanita kelahiran 

18 September 1986 ini pun harus bisa mandiri dan turut berupaya melestarikan tradisi ditengah gempuran modernisasi. 

Banyak orang menganggap hidup di lingkungan Keraton serba ada dan mewah, bagaimana menurut sudut pandang Gusti Bendoro?

Dibilang serba ada memang iya, tapi tergantung perspektif orang. Kadang dianggap menjadi putri Keraton hanya tinggal duduk dan sudah ada yang melayani semuanya. Tapi saya dididik dari keluarga tidak seperti itu. Kami pun tetap harus mencari uang, mandiri dan bekerja. Mungkin kami bekerja bukan untuk diri sendiri, meski itu ada, tapi lebih banyak untuk bidang sosial. Kita juga disibukkan dengan agenda Keraton. Saya pertama bekerja dan mendapat penghasilan untuk uang saku di usia 17 tahun, ketika itu saya sedang kuliah dan bekerja part time menjadi pelayan salah satu restoran Asia di Swiss.

 

Sebagai putri raja anda tentu mendapat tugas di Keraton, apa sajakah itu?

Karena saya kuliah pariwisata dan perhotelan, S2 saya pun kuliahnya tentang management pariwisata kultural dan budaya, jadi saya dipercayai sebagai wakil pengageng Nidya Budaya yang mengepalai tepas pariwisata dan museum Keraton, misalnya pelestarian perpustakaan dengan buku-buku yang sudah ada sejak lama, termasuk pengarsipan.

 

Tentu ada ajaran Sultan yang membekas dan bisa diteladani?

Banyak sebenarnya tapi satu hal yang saya bawa sejak SMA adalah cintailah orang yang mencintai kamu, sayangilah orang yang membenci kamu. Jadi tidak boleh ada dendam dan perasaan tidak suka. Bagaimanapun kita ini orang Jawa harus tetap beretika dan merangkul semua orang.

 

Apa harapan anda untuk Yogyakarta?

Pasti saya berdoa untuk Yogyakarta, supaya bisa lebih maju dengan tetap menjaga tradisinya. Saya ingin orang Jawa kembali pada asal Jawanya. Jangan selalu menghadap ke budaya Barat atau Timur, tapi menghadap pada nenek moyang kita. Lihat kembali apa yang mereka lakukan seperti kita harus melestarikan tradisi, budaya beretika, berpakaian dan sopan santun.

Bagi seorang putri Keraton, dimana letak keistimewaan Yogyakarta?

Di tradisinya. Kalau saja masih ada yang mengkritisi, berarti mereka tidak mengenal budaya, sejarah dan asal muasal mereka. Mungkin dengan berkembangnya Yogyakarta, banyaknya hotel dan segala macamnya, bukan berarti kita ini luntur. Seharusnya kita lebih banyak memotivasi diri untuk melestarikan budaya, karena turis yang datang ke Yogya itu akan melihat budayanya. Saya mengajak anak muda, ayolah kita kembali melestarikan budaya, lewat etika bersopan santun.

 

Bersama putri Keraton lainnya, anda juga menjalani bisnis dengan unsur tradisi, bisa diceritakan?

Saya kebetulan tertarik pada bidang kecantikan, saya ada spa yang menggunakan tradisi Jawa kuno. Proses pemijatannya menggunakan gerakan seperti tari dengan ramuan yang tidak biasa, ini menjadi konsep utamanya. Metode gerakannya pun belum tentu semua orang bisa. Ini menjadi usaha saya supaya tradisi Yogyakarta lebih bisa dikenal.

 

Apa yang menyemangati anda dalam menjalani hidup?

Anak saya. Kebetulan anak saya perempuan, jadi saya ingin memberikan contoh padanya bahwa seorang perempuan itu tak hanya dirumah duduk diam. Saya juga ingin dia tumbuh besar melihat saya seperti apa yang saya lihat ketika saya kecil melihat ibu saya. Beliau ibu rumah tangga, wanita karir tapi juga menjadi panutan warga Yogyakarta dengan kegiatan sosialnya yang tinggi. Ini yang membuat saya ingin terus menggali diri saya sendiri, cita-cita saya ingin menjadi seperti ibu yang menjalankan tiga peran itu sekaligus.

 

Apa kiat anda menuju kesuksesan?

Saya harus memulai dari bawah, mencoba untuk bisa mendalami satu hal dengan fokus dan sungguh-sunguh. Bagi saya, membuka usaha itu bukan hanya dari materi, tapi ada orang yang saya bantu untuk mendapat pekerjaan.