“WAYANG CINA JAWA” AKULTURASI BUDAYA CINA DAN JAWA

Wayang kulit Cina-Jawa atau Wacinwa diciptakan oleh seorang tokoh Tionghoa di bidang seni dan budaya, Gan Thwan Sing pada tahun 1925. Ia menciptakan wayang kulit dengan materi cerita atau lakon wayang dari legenda Tiongkok klasik, seperti Sie Jin Kwi, Sam Kok, dan Thig Jing. Tata cara pertunjukkannya menggunakan pola wayang kulit purwa lengkap dengan musik pengiring berupa gending-gending Jawa. Saat mementaskan wayang Cina-Jawa ia juga menggunakan Bahasa Jawa. Kini, wayang Wacinwa disimpan di dua tempat terpisah, yakni Museum Sonobudoyo Yogyakarta dan Yale University.

WAYANG CINA JAWA 1

Gan Thwan Sing merupakan seorang dalang yang lahir pada tahun 1885 di Jatinom, Klaten. Sejak kecil beliau tinggal bersama kakeknya, Gan Ing Kwat, yang masih memegang utuh tradisi Tionghoa. Sang kakek mewarisi bahasa dan aksara Cina serta berbagai legenda klasik Tiongkok. Gan Thwan Sing muda hafal berbagai bentuk dan wajah tokoh legenda Tiongkok yang dilihatnya berulang-ulang dalam buku kakeknya. Pergaulan yang akrab dengan penduduk kampung menjadikannya pribadi yang dekat dengan masyarakat pribumi, salah satu kegemarannya adalah menonton wayang kulit semalam suntuk.

WAYANG CINA JAWA 4

Pada awal abad ke-20, Gan Thwan Sing pindah ke Yogyakarta untuk mengembangkan bakatnya di dunia seni pertunjukan dengan belajar seni pedalangan dan musik karawitan. Setelah pengetahuannya tentang seni pedalangan cukup, ia memiliki keinginan untuk mewujudkan bentuk baru wayang kulit. Gagasan tersebut merupakan perpaduan dari dua latar belakang kebudayaan yang berbeda, yakni Tiongkok dan Jawa. Legenda Tiongkok digunakan sebagai materi cerita, sementara tata cara pertunjukan wayang Jawa digunakan sebagai sarana cerita. Ia menulis lakon wayangnya yang ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa sekaligus memainkannya, seperti salah satunya Thig Jing Nga Ha Ping Se : Rabenipun Raja Thig Jing (Pernikahan Raja Tig Jing).

WAYANG CINA JAWA 3

Selama empat dasawarsa, Gan Thwan Sing mendidik empat orang menjadi dalang Wacinwa, antara lain Kho Thian Sing atau Mbah Menang, Raden Mas Pardon, Megarsemu, dan Pawiro Buwang. Keempat dalang tersebut meninggal dunia terlebih dahulu sehingga setelah tiadanya Gan Thwan Sing belum ada pengganti dalang Wacinwa. Sejak meninggalnya para dalang Wacinwa, wayang ini tidak pernah dipentaskan lagi. Namun, roh wayang ini dibangunkan dalam ketoprak dan komik. Seperti pada tahun 1970-an cerita Sie Jin Kui dialih wahanakan dalam naskah ketoprak yang dimainkan oleh Ketoprak Saptamandala. Lalu pada tahun 2001, cerita Sie Jin Kui dipentaskan dalam ketoprak Sayembara digubah menjadi lakon “Sang Senapati” yang ditayangkan di TVRI Yogyakarta.

WAYANG CINA JAWA 2

Cerita Sie Jin Kui juga dihidupkan oleh Nano Riantiarno dalam pementasan Teater Koma menjadi tiga lakon yang dikenal dengan Trilogi Sie Jin Kwie. Selain ketoprak dan teater, pada tahun 1983 salah seorang pelukis peranakan, Siaw Tik Kwie atau Oto Suastika membuat komik tentang Sie Jin Kui. Cerita ini terdiri dari dua seri yakni Sie Djin Koei Tjeng Tang (Sie Jin Kui Menyerbu ke Timur) dan Sie Djin Koei Tjeng See (Sie Jin Kui Menyerbu ke Barat). Dan pada 2014, Museum Sonobudoyo kembali menggelar Wacinwa dengan dalang Ki Aneng Kiswantoro, dosen ISI Yogyakarta dengan menggunakan Wacinwa replika.

Wacinwa terdiri dari dua set wayang yang terpisah di dua tempat, wayang Sie Jin Kwi Ceng Tang dengan jumlah 283 boneka wayang dan 139 kepala wayang tersimpan di Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Dan wayang Sie Jin Kwi Ceng See dengan jumlah 345 boneka menjadi koleksi pribadi Dr. Walter Angst. “Wacinwa atau Wayang Cina-Jawa akan dipamerkan untuk umum di Museum
Sonobudoyo Yogyakarta. Namun saat ini masih kami simpan di tempat penyimpanan museum. Untuk satu set lain yang dimiliki oleh pecinta wayang, Dr. Walter Angst dan kini berada Yale University dalam proses kembali ke Indonesia untuk disimpan dengan satu set lainnya di Museum Sonobudoyo Yogyakarta,” jelas Dra. Riharyani, Kepala Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta.