TARI BEDHAYA DAN SRIMPI SEBAGAI WARISAN TRADISI YOGYAKARTA

25a

Berasal dari dalam tembok Kraton, Tari Bedhaya dan Srimpi merupakan representasi legitimasi kekuasaan raja yang bertahta. Dalam sejarahnya, tarian ini menjadi karya besar dari Sultan Agung (1631 – 1645) bersama tokoh mitologi Kanjeng Ratu Kidul, bernama Bedhaya Semang. Dengan dipertunjukkan oleh 11 orang wanita di istana antara tahun 1648 – 1654 pada masa Mataram Baru. Sehingga, tarian ini menjadi Beksan Pusaka (tarian pusaka) karena keberadaannya jauh sebelum munculnya Perjanjian Giyanti. Paska Perjanjian Giyanti, Kraton Yogyakarta mewarisi Bedhaya Semang sedangkan Kraton Surakarta meneruskan Bedhaya Ketawang.

Berikutnya, para raja Yogyakarta selalu menciptakan dan mengembangkan tari klasik. Seperti, Sultan Hamengku Buwono I menciptakan Beksan Lawung dan Srimpi Pramugari, Sultan Hamengku Buwono II menciptakan Bedhaya Babar layar dan Bedhaya Rambu. Sultan Hamengku Buwono V menciptakan Srimpi Kanda dan Srimpi Renggowati, kemudian Sultan Hamengku Buwono IX dengan Beksan Menak. Dan, Sultan Hamengku Buwono X, yang saat ini sedang bertahta, menciptakan 2 tari yakni, Bedhaya Sang Amurwa bhumi dan BedhayaTirta Hayuningrat.

Terdapat beberapa ciri khas dan aturan dalam membawakan tari klasik gaya Yogyakarta. Gerakan dasarnya antara lain ngruji, ngiting, kengser, kicat, trisik, gedrug pada tari putri, serta tancep, junjung tekuk dan ngepel pada tari putera. Dari segi jumlah, tari Bedhaya ditarikan oleh 9 atau 7 penari. Dalam tarian ini, terdapat filosofi angka sembilan yakni melambangkan Babahan Hawa Sanga atau 9 perkara atau lubang dalam tubuh manusia. Sedangkan tari Srimpi mempunyai arti empat.

Tari Klasik Gaya Yogyakarta merepresentasikan empat sifat ksatria (watak satriyo) yang dapat dijadikan pegangan hidup manusia. Pertama adalah “nyawiji”, yang berarti pendalaman niat untuk mencapai tujuan. “Greget” berarti semangat total dan mendalam. Ketiga, “sengguh”, yang berarti yakin pada diri sendiri namun tetap terkendali. Dan yang terakhir adalah “ora mingkuh” atau fokus dan teguh untuk mewujudkan keinginan atau tujuan. Keempat sifat ini mengilhami seluruh tari klasik gaya Yogyakarta.