PASAR GEDE SOLO PERPADUAN GAYA BELANDA DAN JAWA

Dahulu kala pada zaman kolonial Belanda, Pasar Gede merupakan pasar kecil yang berdiri di atas lahan yang tidak begitu besar. Berlokasi di area strategis, tepatnya di persimpangan kantor gubernur yang sekarang beralih fungsi menjadi Balaikota Surakarta, bangunan Pasar Gede dirancang oleh arsitek warga negara Belanda bernama Ir. Thomas Karsten. Bangunan pasar selesai dibangun pada tahun 1930 dan diberi nama Pasar Gedhe Hardjanegara. Nama Pasar Gedhe atau Pasar Besar diambil dari atap pasar yang sangat besar.

pasar-gede-solo-1

Pasar Gede terdiri dari dua bangunan yang terpisahkan oleh jalan yang sekarang disebut sebagai Jalan Sudirman. Gaya arsitektur Pasar Gede merupakan perpaduan antara gaya Belanda dan gaya Jawa dengan kedua bangunannya terdiri dari dua lantai. Pada tahun 1947, Pasar Gede mengalami kerusakan cukup parah karena serangan kolonial Belanda. Kemudian Pemerintah Republik Indonesia merenovasi kembali pada tahun 1949. Namun perbaikan atap baru selesai pada tahun 1981 dengan menggantinya dengan atap dari kayu. Dulu bangunan kedua dari Pasar Gede digunakan sebagai kantor DPU dan sekarang digunakan sebagai pasar buah.

pasar-gede-solo-2pasar-gede-solo-3

Pasar Gede yang berada di pusat Kota Solo dikelilingi berbagai bangunan penting lainnya. Selain berada di Jalan Jenderal Sudirman, Pasar Gede juga berdekatan dengan perkampungan warga keturunan Tionghoa atau Pecinan yang bernama Balong. Para pedagang yang berjualan di Pasar Gede pun banyak yang keturunan Tionghoa. Dekatnya Pasar Gede dengan komunitas Tionghoa dan area Pecinan bisa dilihat dengan keberadaan sebuah kelenteng, persis di sebelah selatan pasar ini. Kelenteng ini bernama Vihara Avalokiteśvara Tien Kok Sie dan terletak pada Jalan Ketandan.

Selain pernah terkena serangan Belanda pada tahun 1947, Pasar Gede tidak luput pula terkena serangan amuk massa pada Peristiwa Mei 1998 dan pada Oktober 1999 saat tidak terpilihnya Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Indonesia, Pasar Gede dibakar oleh amuk massa. Namun usaha renovasi dengan mempertahankan arsitektur asli bisa berjalan dengan cepat dan dua tahun kemudian pada penghujung tahun 2001, pasar yang diperbaiki bisa digunakan kembali. Bahkan pasar yang baru tergolong canggih karena ikut pula memperhatikan keperluan para penyandang cacat dengan dibangunnya prasarana khusus bagi pengguna kursi roda.

pasar-gede-solo-4

Seiring dengan perkembangan zaman, pasar ini menjadi pasar terbesar dan termegah di Surakarta. Selain bangunannya yang megah, Pasar Gede juga menyimpan banyak kenangan dalam hal kuliner. Seperti Es Dawet Telasih milik Bu Dermi yang merupakan ramuan es dawet tradisional turun temurun tiga generasi dan telah berjualan di Pasar Gede sejak tahun 1930an. Disajikan di mangkuk berisi es dawet ketan hitam, tape ketan, jenang sumsum, biji telasih, cairan gula dan santan serta tambahan es batu. Anda juga akan menemui Brambang Asem, kudapan asli Solo yang terdiri dari daun ubi, tempe gembos dimasak bacem dicampur sambal asam jawa dimasak sehingga terasa pedas dan manis.

Kuliner lainnya yang patut dicoba adalah Lenjongan yang telah menjadi jajanan tradisional Solo sejak zaman penjajahan Belanda. Lenjongan terdiri dari beberapa makanan antara lain tiwul, ketan hitam, ketan putih, gethuk sawut, cenil, dan klepon. Anda juga wajib menjajal Nasi Tumpang yang berbahan tempe busuk dan disajikan dengan tambahan tahu putih dan daun bayam rebus dengan resep yang diwariskan turun temurun.