NGAYOGJAZZ 2015

NGAYOGJAZZ 2015

NGAYOGJAZZ 2015
NGAYOGJAZZ 2015

Berpedoman pada sejarah munculnya musik jazz, Ngayogjazz konsisten mendekatkan diri pada masyarakat dengan segala keunikannya. Ajang yang telah terselenggara 9 kali ini menjadi peristiwa budaya yang menggabungkan berbagai spirit kebudayaan dan kehidupan sosial. Digagas oleh Djaduk Ferianto yang kemudian mengajak tokoh lain: Hattakawa, Bambang Paningron, Ajie Wartono, Vindra Diratara, Hendy Setiawan dan Ahmad Noor Arief untuk mendobrak pandangan bahwa jazz hanyalah untuk kaum elit.

NGAYOGJAZZ 2015
NGAYOGJAZZ 2015

Ngayogjazz digelar tiap November, pindah dari desa satu ke desa lainnya di DIY untuk menggabungkan jazz dan suasana pedesaan. Musisi yang tampil dari lokal sampai internasional. Pertama di Padepokan Bagong Kussudiardjo (2007), Desa Wisata Tembi (2008), Pasar Seni Gabusan (2009). Karena letusan Gunung Merapi dan Yogya tertutup abu vulkanik, Ngayogjazz batal digelar tahun 2010. Tapi dengan semangat guyub dan gotong royong, tahun 2011 Ngayogjazz digelar 2 kali, pertama bulan Januari di pelataran rumah perupa Djoko Pekik di Bantul dan di Kotagede bulan November. Desa Brayut dan Sidoakur, Sleman menjadi tempat penyelanggaraan Ngayogjazz tahun 2012, 2013 dan 2014. Istilah jam session dan improvisasi pada musik jazz pun berlaku di Ngayogjazz. Musisi yang tampil diberi keleluasaan diatas panggung, mereka bisa dengan santai berinteraksi dengan semua yang datang. Mereka tak hanya memainkan repertoarnya tapi juga belajar dari masyarakat yang menjadi produk seni itu sendiri. Kesenian tradisional juga diberi ruang, begitu pula dengan suguhan kuliner khas pedesaan. Inilah menariknya Ngayogjazz yang selalu merakyat, bahkan tahun lalu dihadiri 26 ribu orang dari usia dan latar belakang yang beragam. Ajang ini pun menjadi gerakan kebudayaan yang konsisten melibatkan publik.

NGAYOGJAZZ 2015
NGAYOGJAZZ 2015

Tak hanya berhenti pada pertunjukan saja, tahun depan akan diluncurkan buku yang ditulis banyak akademisi tentang sudut pandang mereka melihat Ngayogjazz. “Jazz telah menjadi perilaku, terbuka dan ada manusia yang bisa saling ber-jamm session. Sebagaimana jazz dipahami awalnya sebuah hiburan sekarang jadi kebutuhan,” kata Djaduk. Ngayogjazz juga selalu diwarnai dengan plesetan kata dan logika untuk merumuskan tagline dan tema. Ngayogjazz 2015 bertema ‘Bhineka Tunggal Jazznya’ untuk merayakan keberagaman yang disatukan oleh musik jazz. Terinspirasi dari ‘Bhineka Tunggal Ika’ yakni Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular, secara harfiah berarti ‘beraneka itu satu’. Pesannya keberagaman yang sekarang ada bukan menjadi pemisah bagi tiap individu atau kelompok, tapi justru kesatuan yang saling melengkapi. Ini juga tercermin dalam spirit musik jazz, masing-masing musisi dengan gaya bermain yang berbeda-beda akan memunculkan harmonisasi indah saat disatukan.

NGAYOGJAZZ 2015
NGAYOGJAZZ 2015

Logo tahun ini merujuk pada burung Garuda yang terinspirasi dari burung Jatayu dalam cerita wayang, melambangkan kebijakan, pengetahuan, kekuatan, keberanian, kesetiaan dan disiplin. Tahun ini lebih dari 40 musisi dan kesenian tampil di Desa Pandowoharjo sebagai lokasi pelaksanaannya. Berada di utara kota Yogya dengan keragaman masyarakat dan kesenian tradisionalnya. Menurut arsitek, Eko Prawoto relevansi pemilihan desa untuk pelaksanaan Ngayogjazz dinilai tepat. Desa masih memiliki kecepatan yang manusiawi karena kedekatannya dengan alam, akan berdampak pula pada aspek biologis masyarakatnya. “Saat berada di desa, kita bisa melikat sesuatu bisa lebih detail dan menyadari kemanusiaan kita. Tak hanya pertunjukan di stage, aktivitas kehidupan manusianya juga dipertontonkan,” ujarnya. Di tengah maraknya festival jazz yang ada di Indonesia, Ngayogjazz ingin masyarakat Yogya (khususnya) bangga bisa menjadi tuan rumah yang baik dalam sebuah festival jazz. Harapannya kemudian hari bisa menginspirasi kota lain atau cabang seni lainnya untuk lebih memajukan diri menjadi festival bertaraf internasional. Dalam Ngayogjazz semua berbaur, saling memberikan ruang dan bekerjasama menciptakan harmonisasi.