LABUHAN MERAPI MENGENAL KEUNIKAN TRADISI YOGYAKARTA

Yogyakarta adalah sebuah kota yang memiliki banyak tradisi. Setiap tradisi yang ada di kota ini, memiliki keunikan yang berbeda-beda. Tradisi tradisi yang berada di Yogyakarta juga tidak lepas dari pengaruh atau kebiasaan yang terdapat pada Keraton Yogyakarta. Labuhan Merapi merupakan sebuah upacara yang biasanya dilaksanakan pada tanggal 30 bulan Rajab. Labuhan Merapi dilakukan untuk memperingati Jumenengan Dalem (naik tahta) Sri Sultan HB X

Berawal pada tahun 1755, dilakukan sehari setelah naiknya tahta pada kala itu. Namun, upacara ini sudah dijadikan acara turun temurun hingga saat ini. Acara ini juga merupakan bentuk rasa syukur dan doa bagi keselamatan raja Keraton Yogyakarta. Labuhan Merapi dianggap sebagai tanda hormat kepada Tuhan dan penghormatan untuk para leluhur Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat. Pada upacara ini, biasanya ada beberapa benda atau peralatan yang dibawa salah satunya adalah ubo rampe. Ubo rampe merupakan benda-benda yang diarak.

Ada beberapa benda yang dibawa seperti Sinjang limar, Sinjang bangun tulak, Sinjang gadhung, kain penutup mata (destar), ikat pinggang (udaraga), ses wangen (rokok), kemenyan, yatra tindih (uang) sebesar 8,33 rupiah dan beberapa benda lainnya. Bendabenda ini ditaruh dalam peti dan menggantikan peti-peti yang sudah kosong tiap acara ini dilaksanakan. Peti-peti ini diberikan kepada Bupati Sleman lalu diteruskan kepada guru kunci Merapi di Cangkringan.

Acara ini biasanya diikuti oleh ratusan orang dari segala bidang mulai dari budayawan, pemerintah, dan masyarakat umum. Setelah melakukan perjalanan yang menghabiskan waktu 2 jam dan setelah selesai melakukan berbagai prosesi biasanya akan dibagikan makanan dan hasil bumi seperti kembang setaman, nasi tumpeng, dan serundeng. Menurut juru kunci acara upacara ini bukan hanya perjalan menapaki Merapi tetapi sebagai cerminan kerja keras dan pengorbanan. Upacara ini juga dianggap sebagai tradisi unik yang harus lestari.