BIENNALE JOGJA XIII

BIENNALE JOGJA XIII

biennale-jogja-(1)
BIENNALE JOGJA XIII

Perhetalan seni rupa dua tahunan Biennale Jogja (BJ) edisi ke-13 yang dilaksanakan pada tanggal 1 November – 10 Desember 2015 lalu di Jogja National Museum (JNM) ini berhasil dikemas dengan menarik. BJ kini berjejaring dengan satu negara di kawasan khatulistiwa, berjalan ke Barat, diawali dengan mendatangi India (2011) dan Arab (2013). Edisi ketiga Biennale Ekuator pun mendatangi Nigeria, seniman dari kedua negara lalu dipertemukan dalam kerangka tema ‘Meretas Konflik’ (Hacking Conflict). Perhelatan ini menjadi penelusuran sejarah menarik dan istimewa karena tahun ini bertepatan dengan peringatan 60 tahun Konfrensi Asia Afrika (KAA). Nigeria dinilai menjadi kawasan di Afrika Barat yang perekonomiannya maju dan kebudayaannya dinamis. Negara ini juga memiliki hubungan diplomasi dengan Indonesia, bahkan menjadi pusat di Afrika Barat dan membawahi 9 kedutaan besar Indonesia bagi negara lainnya. Pentingnya memilih negara yang memiliki hubungan diplomatis menurut Alia Swastika selaku Direktur BJ XIII bukan semata mempertemukan seniman dan pengenalan karya dari kedua negara tapi juga menjembatani pihak yang sebelumnya tak terhubung. “Saat ini Nigeria punya peran menarik dalam seni rupa kontemporer. Nigeria juga punya pergerakan menarik jika disandingkan dengan Indonesia,” urainya. Perkenalan kedua negara diawali dengan program residensi tahun lalu, 9 seniman dan 1 kurator Indonesia tinggal di Nigeria selama sebulan. Sebaliknya 6 seniman, 1 kurator dan seorang peneliti Nigeria tinggal di Indonesia selama 5 minggu. Mereka banyak terlibat dengan warga. Pertemuan langsung ini penting untuk melihat bagaimana kehidupan sehari-hari dan mencari isu sosial untuk pengembangan tema. Akhirnya BJ tak hanya menampilkan seni rupa saja tapi juga bentuk seni lainnya seperti pertunjukan: teater, musik, film dan tari yang dikemas kolaboratif. Setelah diskusi sejak Maret lalu, muncul 33 karya yang dipamerkan pada pameran utama. Lebih banyak kesenian interaktif dari 33 seniman yang diundang, 11 diantaranya dari Nigeria dan 23 dari Indonesia. “Tema yang diambil awalnya karena mencari kesamaan peristiwa atau kehidupan yang marak dibahas saat ini di kedua negara,” terang Kurator BJ XIII, Wok the Rock. Dengan karya interaktif, pengunjung akan merasakan pengalaman berbeda dan mencoba terlibat dalam konflik itu sendiri.

BIENNALE JOGJA XIII
BIENNALE JOGJA XIII

Mengiringi fasad JNM ada scaffolding berjajarmassif dan gambar hitam putih pada lembar kayu karya Maryanto berjudul ‘Sweet Crude, Black Gold’, karya ini berbasis penelitiannya pada pengelolaan sumber daya yang selalu menghasilkan konflik antara pemerintah dan warga lokal. Seniman Nigeria, Victor Ehikhamenor melengkapi isu itu dengan gambar pada drum bekas minyak berjudul ‘The Wealth of Nations’. Untuk melihat karya lainnya, Ace House Collective melalui aktivitas performatif berjudul
‘Komisi Nasional Pemurnian Seni’ menggunakan gurah sebagai media interaksi dan simulasi layaknya ruang imigrasi. Selama 40 hari, karya-karya ini bisa dinikmati pada pukul 10.00-20.00 WIB.

BIENNALE JOGJA XIII
BIENNALE JOGJA XIII

Ada 2 karya yang ditempatkan di luar JNM yakni karya seniman Nigeria, Olanrejawu Tejuoso bersama Prison Art Programs, Hannah Ekin,Jorgen Asmussen Doyle, Pewarta Foto Indonesia Yogyakarta dan Ignasius Kendal berjudul ‘Black Market Museum’ yang memanfaatkan bangunan terabaikan di Bintaran Kulon Yogya. Satu lagi pertunjukan kolaborasi Irwan Ahmett – Titta Salina dan Yudi Ahmad Tajudin berjudul ‘Restiturtion of 1755: Hacking Giyanti’ di Karanganyar, Jawa Tengah. Mereka menelisik sejarah berdirinya kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan menghadirkan kembali Perjanjian Giyanti, dengan demikian konflik yang terjadi selama ini bisa dirunut balik. Selain pameran utama, beberapa highlight acara lainnya yakni Biennale Forum Kuliah Umum dan Diskusi, Festival Koalisi Cakrawala ‘Equator Festival BJ XIII’, Presentasi Parallel Event dan Biennale Forum untuk Anak Muda.