UPACARA NGURAS ENCEH BUDAYA MEMBERSIHKAN DIRI DAN HATI DARI PERBUATAN KOTOR

Nguras Enceh merupakan upacara adat yang dilakukan di Makam raja-raja Pajimatan. Makam raja-raja ini, terletak di daerah Imogiri, Bantul, dan Yogyakarta. Nguras memiliki arti membersihkan sedangkan Enceh berarti gentong. Tradisi membersihkan gentong ini sudah berlangsung selama ratusan tahun. Upacara tersebut dilakukan ketika Jumat Kliwon pada bulan Sura sesuai kalender Jawa. Terdapat empat enceh atau gentong yang dikuras saat upacara berlangsung. Nama-nama enceh tersebut adalah Gentong Kyai Danumaya, Kyai Danumurti, Kyai Mendung, dan Nyai Siyem. Gentong Kyai Danumaya berasal dari Kerajaan di Palembang, Kyai Danumurti dari Kerajaan Aceh, Kyai Mendung dari Kerajaan Ngerum di Turki, dan Nyai Siyem berasal dari Kerajaan Siam Thailand.

Upacara dimulai dengan pembacaan doa dan salawat. Setelah itu ada prosesi bakar kemenyan oleh para juru kunci semerbak sepanjang berlangsungnya ritual. Setelah
pembacaan doa, kerabat Kraton dan para abdi dalem mengalungkan untaian bunga serta peletakan sesajen pada gentong yang berada di Kompleks Makam Raja-Raja Mataram Imogiri. Ritual tersebut,diikuti dengan pengisian gentong dengan air menggunakan gayung dari batok kelapa dan tangkai bambu yang disebut siwur. Sepasang siwur dibawa melambangkan dua kerajaan yang menjadi bagian dari kerajaan Mataram Islam yaitu Keraton Kasunanan Surakarta dan Keraton Kasultanan Yogyakarta. Rombongan pembawa siwur kemudian berjalan menuju gentong yang pada malam sebelumnya sudah melalui ritual pembersihan yang merupakan pengurasan air gentong yang disebut Ngarak Siwur. Para abdi dalem,berpangkat Tumenggung atau Ngabehi mengisi air gentong yang kemudian dibantu oleh warga. Warga kemudian diperbolehkan meminta air yang dianggap membawa berkah tersebut setelah air pada keempat gentong
terisi penuh.

Acara Nguras Enceh rutin dilakukan semenjak peninggalan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Sultan Agung Hanyakrakusuma adalah raja yang sangat disegani. Pada masa kepemimpinannya, hubungan diplomatik dengan kerajaankerajaan di luar pulau Jawa terjalin dengan baik. Gentong-gentong tersebut merupakan penghormatan pada kerajaan-kerajaan yang memiliki hubungan diplomatik dengan Kerajaan Mataram Islam pada masa itu. Tradisi ini dimaknai pula sebagai upaya membersihkan diri dari dari berbagai hal kotor.