TENUN LURIK SIMBOL KESEDERHAAN DARI JAWA

Lurik yang berasal dari Bahasa Jawa, Lorek memiliki makna sebagai garis-garis yang merupakan lambang kesederhanaan. Lurik juga memiliki beberapa arti, menurut Ensiklopedia Nasional Indonesia, lurik merupakan suatu kain hasil tenunan benang yang berasal dari daerah Jawa Tengah dengan motif dasar garis-garis atau kotakkotak dengan warna-warna suram yang pada umumnya diselingi aneka warna  Aenang. Sedangkan menurut Kamus Lengkap Bahasa Jawa oleh Mangunsuwito, pengertian lurik adalah corak lirik-lirik atau lorek-lorek. Dan kata lurik juga berasal dari kata Rik yang memiliki arti garis atau parit yang dimaknai sebagai pagar atau pelindung bagi pemakainya.

SIMBOL KESEDERHANAAN DARI JAWA

Awalnya motif lurik hanya dibuat dalam warna terbatas yakni hitam, putih, atau kombinasi keduanya. Pada jaman dahulu, proses pembuatan tenun lurik menggunakan alat dan bahan tradisional. Benang atau lawe yang dibutuhkan sebagai bahan utama dalam membuat tenun lurik terbuat dari tanaman Perdu dengan warna dominan hitam dan putih. Selanjutnya diberi pewarna tradisional yakni dari tumbuhan Tarum dan kulit batang Mahoni. Hasil dari rendaman Tarum diperoleh warna nila, biru tua, dan hitam, sedangkan kulit batang Mahoni menghasilkan warna coklat. Kemudian benang dicuci berkali kali, dikemplong atau dipukul hingga lunak, dijemur, dan dibaluri nasi dengan menggunakan sabut kelapa.

SIMBOL KESEDERHANAAN DARI JAWA2

Dahulu, terdapat dua macam alat tenun yang digunakan antara lain alat tenun Bendho dan alat tenun Gendong. Alat tenun Bendho terbuat dari bambu atau batang kayu dan alat yang digunakan untuk merapatkan benang pakan berbentuk Bendho atau golok. Alat tenun ini biasanya digunakan untuk membuat stagen atau ikat pinggang untuk pengikat kain (jarik) oleh para perempuan Jawa. Sedangkan untuk alat tenun Gendong salah satu bagiannya diletakkan di belakang pinggang, sehingga tampak seperti digendong. Alat ini biasanya untuk membuat bahan pakaian, selendang lebar, dan kain panjang atau jarik. Dahulu, kain lurik dipakai oleh semua orang dan menjadi busana sehari-hari terutama di daerah Yogyakarta, Solo, dan Klaten. Untuk busana lurik pria disebut dengan Beskap untuk daerah Solo sedangkan di Yogyakarta disebut sebagai Surjan. Selain itu juga digunakan dalam upacara yang berkaitan dengan kepercayaan misalnya labuhan atau upacara adat seperti ruwatan, siraman, mitoni, dan upacara lainnya.

SIMBOL KESEDERHANAAN DARI JAWA3

Yogyakarta masih menjadi salah satu sentra pembuatan tenun lurik namun dari segi presentasinya masih terbilang kurang baik dari dalam jumlah produksi, teknik produksi, desain, dan pengembangan produk. Faktor terbesar penurunan produksi lurik di Yogyakarta disebabkan oleh menurunnnya jumlah tempat produksi tenun lurik di Yogyakarta. Dulu, sentra lurik di Yogyakarta tersebar di beberapa wilayah seperti Krapyak yang kini hanya tersisa satu tempat produksi lurik saja. Wilayah lain di Yogyakarta yang menjadi sentra pembuatan tenun lurik antara lain daerah Godean, Mlangi, Kulon Progo, dan Bantul namun dengan jumlah yang minim. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya minat masyarakat, kurangnya regenerasi keahlian, dan minimnya pengetahuan tentang tenun lurik juga menjadikan tenun lurik yang dihasilkan dengan ATBM atau Alat Tenun Bukan Mesin menjadi langka dan sulit dijumpai.

Salah satu, tempat pembuatan tenun lurik tertua di Yogyakarta yang masih eksis hingga kini yakni Tenun Lurik Kurnia yang berada di wilayah Krapyak Wetan. Dimiliki oleh Bapak Debyo, tempat ini didirikan pada tahun 1962. Tenun Lurik Kurnia saat ini dikelola oleh Bapak Sulis , putra ke-6 dari Bapak Debyo. Dengan menggunakan 30 ATBM yang mayoritas alatnya telah digunakan sejak tahun 1962, Tenun Lurik
Kurnia mampu memproduksi 7 hingga 10 meter per hari. Dengan motif-motif yang dibuat dari nama-nama prajurit Keraton Yogyakarta antara lain motif Telu-Pat yang didominasi warna merah, hijau, dan biru, Motif Jogokariyo memiliki warna hitam dan putih, Mantrijero, dan Ketanggung berwarna biru, hitam, dan putih.

PROSES PEMBUATAN LURIK

1. Proses Pewarnaan dan Pengelosan

Proses Pewarnaan dan Pengelosan2 Proses Pewarnaan dan Pengelosan

Bahan-bahan yang digunakan adalah bahan alami yang terdiri dari dedaunan, kulit kayu, akarakaran, biji-bijian, dan lainnya. Benang direndam dalam larutan buah kemiri yang sudah digiling halus dan disaring sebelum proses pencelupan agar peresapan warna benang meningkat dan warna tidak cepat luntur. Proses berikutnya benang yang sudah dibentuk menjadi gulungan benang yang disebut Tukel. Proses selanjutnya adalah Pengelosan yakni proses memindahkan benang dari bentuk benang ke dalam bentuk kelos dengan menggunakan alat pintal (erek).

2. Proses Pemaletan dan Penghanian

Proses Pemaletan dan Penghanian2 Proses Pemaletan dan Penghanian

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagian ini merupakan proses memindahkan benang dari bentuk streng ke dalam keleting sehingga menjadi benang dalam bentuk menggunakan alat pintal (erek). Benang yang dipalet tidak boleh melewati ujung keleting karena dapat mengakibatkan benang keluar dari teropong. Kemudian proses penyekiran (penghanian), sekiran adalah alat untuk menyusun benang lungsi, dalam proses ini motif sudah bisa ditentukan. Proses ini merupakan pekerjaan penggulungan benang dari bentuk kelos ke dalam tambur (bom besar), dalam keadaan sejajar satu sama lain dan membentuk lapisan. Dalam proses ini dituntut ketelitian dalam memperhatikan jumlah benang tata warna benang dan lancarnya putaran kelos pada sekiran.

3. Proses Pengeboman dan Penyucukan

Proses Pengeboman dan Penyucukan2 Proses Pengeboman dan Penyucukan

 

 

 

 

 

 

 

 

Proses memindahkan benang dari tambur (bom besar) ke dalam bom kecil yakni bom penggulung benang lungsi. Dalam proses pengeboman bertujuan supaya ketegangan dan kesejajaran benang sama. Proses selanjutnya adalah penyucukan yakni proses untuk memasukkan benang-benang lungsi dari bom kecil satu demi satu benang tersebut dimasukkan pada mata gun yang sesuai denga rencana tenun.

4. Proses Menenun dan Finishing

Proses Menenun dan Finishing2 Proses Menenun dan Finishing

 

 

 

 

 

 

 

 

Menenun menggunakan alat tenun manual atau yang dikenal dengan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin). Proses tenun dilakukan melalui beberapa gerakan pokok ke penyetelah, membuka mulut lungsi, meluncurkan teropong, pengentakan sisir bantingan, dan penguluran lungsi dari bom lungsi. Dan proses finishing dalam bagian ini merupakan penyempurnaan hasil produksi yang meliputi, menghilangkan sambungan benang yang terlalu besar pada kain.